Kekerasan Atas Nama Agama

Juni 25, 2008

Beragama seperti berpijak di dua sisi mata uang. Di sisi pertama, agama diandalkan sebagai basis moral bagi umat manusia. Agama mengejawantahkan manusia untuk hidup rukun, menancapkan pesan ke-Tuhan-an kepada segenap penduduk bumi bahwa setiap perbuatan perusakan dan kezaliman akan diganjar setimpal pada kehidupan lain. Agama dalam dimensi ini, tentu saja, dipenuhi oleh pesan keselamatan (salam) bagi sesama makhluk.

Di sisi lainnya, agama justeru sering dijadikan alat untuk melegalkan setiap bentuk kekerasan. Ini karena menancapkan pesan ke-Tuhan-an sering diadaptasi secara salah oleh para pemeluk agama itu. Agama pada sisi ini hadir dengan wajah yang sangat menakutkan.

Keselamatan sekaligus ketakutan tentu saja tidak mungkin dipertemukan dalam logika penafsiran dogmatika. Sebab demikian, ambiguisitas ini bisa dibaca sebagai konstruk wacana keagamaan yang tidak bisa hanya berdiam diri di medan supra logika.

Agama memang tidak sekedar dogmatika, ia disusun oleh berbagai kekuatan logika penafsiran, mitos, eklektisisme budaya yang dipraksiskan secara massif dan tentu saja mengundang heroisme akan klaim kebenaran (truth claim). Kekerasan atas nama agama dengan demikian menyiratkan sebentuk penangkapan dan penafsiran pemeluknya terhadap pesan ke-Tuhan-an yang diikuti beragam mitos akan klaim kebenaran. Oleh karena itu, pesan Tuhan bakal gagal didialogkan dengan perkembangan peradaban manusia.

Di ruang praksis, kita menyaksikan bagaimana pesan dogmatika sering digandengkan dengan parang yang diangkat dan pedang yang dihunuskan, untuk menandai bahwa mengkampanyekan pesan Tuhan dengan cara kekerasan merupakan perang suci (holy war) yang akan mendapat ganjaran mulia di sisi Tuhan. Saksikan saja bagaimana heroisnya para moralis yang menerjemahkan amar makruf nahi munkar dengan cara memporak-porandakan tempat pelacuran, menyerang tempat-tempat yang dianggap sarang maksiat sembari banyak melanggar hak asasi manusia, hak ekonomi, hak politik, bahkan hak-hak perempuan. Bagaimana mungkin teologi keberagamaan ditegakkan di atas pelecehan hak asasi, dan hilangnya sumber pencaharian sebagaian orang yang dikafirkan?

Wacana keagamaan pada gilirannya menjadi sedemikian harmonis dengan perilaku kekerasan para pemeluknya. Paradoksal ini seperti sebuah langkah kompromi terhadap kekerasan, yang dihalalkan untuk menegakkan supremasi ke-Tuhan-an.

Padahal mengawinkan kesucian dogmatika dengan kekerasan ternyata tidak hanya bertentangan dengan nalar keagamaan sendiri, lebih menyesatkan lagi, ini melanggar hakikat kemanusiaan. Pada saatnya, tidak menuntut kemungkinan agama akan diabtraksikan sebagai utopia cita-cita hidup yang penuh dengan keselamatan (lewat jalan penuh kekerasan).

Bagai mempertemukan minyak dan air, paradoks tersebut memformulasi anomali perilaku keagamaan. Sebab menawarkan kedamaian dan keselamatan mencederai kemanusiaan dan mewariskan kesengsaraan ekonomi, tidak akan mengokohkan supremasi ke-Tuhan-an di tengah krisis kemanusiaan.

Agama kemudian tidak sekedar dijalankan dalam kerangka pemahaman yang sangat sempit, justeru perilaku keberagamaan akan semakin meninggalkan subtansi penegakan teologi di tengah-tengah perkembangan kebudayaan yang begitu cepat. Dogmatika, perilaku keagamaan, dan perkembangan budaya pada gilirannya menampilkan sebuah dialog asimetris.

Dogmatika agama tidak hanya gagal di tataran inklusivisme antar teks keagamaan, lebih tragis perkembangan semakin mengekspresikan sikapnya yang antipati terhadap berbagai keberatan dogmatik. Ini harga mahal yang harus dibayar manakala agama ditampilkan dengan wajah yang menakutkan. Banyak dimensi agama yang terberangus akibat anarkisme pemeluknya yang kurang arif menyikapi dinamika budaya.

Di aras sosiologinya, agama gagal menyikapi kesenjangan simbol dan perilaku. Di tengah-tengah masyarakat agama tampil secara tidak ramah, untuk menyapa berbagai bentuk ketimpangan sosial-ekonomi. Kemiskinan, prostitusi, kenakalan remaja, penyalahgunaan narkoba, dan maraknya pornografi dikutuki secara hitam-putih sebagai najis yang perlu disingkirkan. Padahal orang-orang yang menajiskan berbagai ketimpangan itu sebenarnya tidak pernah benar-benar bersemangat untuk menawarkan solusi lain yang lebih ramah terhadap kemanusiaan, kecuali dengan cara kekerasan. Agama kemudian menjadi sedemikian tumpul terhadap berbagai gejolak ketidakadilan sosial-ekonomi yang justeru terjadi di sekeliling tempat dimana simbol-simbol agama ditancapkan.

Binary Opposition

Pada dimensi ideologis, agama yang terlanjur diideologikan juga bersinggungan dengan ideologi kemanusiaan yang sifatnya universal. Agama yang sering ditampilkan secara tidak ramah di tengah-tengah ketimpangan sosial, secara ideologis dianggap cacat karena mengabaikan kemanusiaan atas nama kesucian dogmatika.

Dalam konstruksi wacana keagamaan demikian, agamawan biasanya tergiring pada ruas konflik yang cenderung binary opposition, antara hitam-putih, suci-najis, santri-abangan, dan surga-neraka. Agama kemudian dianggap tidak peka terhadap dinamika kehidupan yang dimaknai ebagai etika untuk menghargai kemajemukan (pluralitas).

Dalam logika kemajemukan inilah nalar konflik berhadap-hadapan yang dibasisi oleh pemahamana agama yang sempit tersebut, dianggap sebagai cara tradisional dalam menyikapi dinamika itu, karena menegaskan nilai-nilai kemanusiaan dengan dalih menjaga kesucian dogmatika di atas perbuatan najis kaum abangan.
Harga mahal tersebut secara eksistensial tidak menguntungkan agamawan, yang mempersonifikasi diri sebagai penerus cita-cita islam. Mereka terlanjur sangat percaya bahwa risalah kenabian hanya bisa ditegakkan dengan cara mengangkat parang sementara nalar berfikir mereka masih sangat terkungkung oleh sistem pertandaan yang mereka ciptakan sendiri. Berkopyah dan bersurban nampaknya tidak pernah menjamin subtansi keberagamaan. Sebab simbol keberagamaan itu sering dijadikan legitimasi tindak kekerasan atas nama agama.

Dan secara politik, wacana kekerasan atas nama agama juga sering memancing kekuatan negara atau kelompok kepentingan untuk membangun jalur hegemoni kekuasaan dengan memanfaatkan keruhnya wacana keberagamaan. Dalam kasus politisasi agama ini, Indonesia memiliki catatan buram yang cukup panjang. Sebuah konstelasi agama-negara yang tumpang tindih. Selama puluhan tahun pernah dipraktikkan Orde Baru demi melegitimasi status-quo kekuasaan.

Agama tidak lebih hanya sebagai simbol yang dipajang di semua institusi negara, sementara ruhnya dibuang jauh-jauh dari kesadaran keberagamaan. Ini karena negara sebenarnya tidak pernah serius mengayomi kehidupan keberagamaan di Indonesia. Pada saat yang bersamaan konflik antar agama sesekali waktu bisa diledakkan sendiri oleh negara, guna menciptakan ketergantungan kaum agamawan terhadap itu.

Demikianlah, wacana kekerasan dan pendekatan fasis dalam menegakkan pesan ke-Tuhan-an, dalam banyak hal sebenarnya tidak pernah menguntungkan, disamping tidak juga direstui oleh semua agama untuk dijadikan sebagai alat dan dalih menyelamatkan manusia dari apa yang disebut kekafiran.

Mengurai Konflik Antar Agama
Sejatinya, tak ada satu pun agama di dunia ini yang mengajarkan tentang kekerasan. Memberi keselamatan, cinta, perdamaian, dan saling mengasihi adalah pesan universalitas yang sebenarnya bisa mengikat agama-agama tersebut dalam harmonitas yang dilambari dengan sikap toleransi. Namun, pada realitasnya tidak demikian. Pesan itu seolah hanya menjadi jimat suci yang disakralkan tanpa diturunkan ke dataran praksis yang bisa dijelmakan dalam laku dan sikap keberagamaan.

Dalam konteks Islam sendiri, Islam sebagai agama di turunkan ke muka bumi ini dengan pesan mulianya yaitu sebagai rahmatan li al alamin. Rahmatan li al alamin disini tentu tidak sebatas hanya untuk umat Islam sendiri tapi juga untuk agama lain, bahkan seluruh alam semesta. Ini artinya, Islam dan semua agama mengakui akan kemajemukan (pluralitas). Bahwa hidup itu tidak homogen, hanya disusun dari satu golongan atau satu agama saja, melainkan berlaksa-laksa agama dan golongan.

Pesan ini tentu kontradiktif dengan kenyataan yang ada di depan mata kita, utamanya dalam konteks Indonesia. Kekerasan atas nama agama kemudian merebak dimana-mana, bak jamur di musim penghujan. Peradaban bangsa ini pun akhirnya dipenuhi dengan ketegangan, ketidakharmonisan dan sentimen antar agama. Ini tentu saja praktek keberagamaan yang justeru memungkiri eksistensinya masing-masing yang secara kerdil coba mengenyahkan pluralitas. Padahal pluralistas adalah sebuah keniscayaan hidup yang tidak bisa dipungkiri dan ditampik. Jadi, usaha untuk mengenyahkan pluralitas adalah peragaan sikap yang sungguh tidak arif.

Dalam sepanjang sejarah, perang, konflik, pertikaian antar agama lebih dilatari oleh perebutan kebenaran. Kebenaran dalam konteks ini tentu kebenaran menurut pemahaman dan interpretasi masing-masing agama. Dalam ranah ini, kebenaran dimaksudkan sebagai upaya untuk mengukuhkan superioritas agama tersebut untuk melegitimasi eksistensinya sebagai sebuah agama yang paling benar dari pada yang lain. Maka kebenaran itu harus dijaga, dipertahankan dan di tempatkan sebagai sesuatu yang tak terjamah dan tak tersentuh oleh siapa pun.

Tidak sekedar pola pertahanan secara defensif dan tertutup ini, namun yang lebih fatal lagi kebenaran yang dibentengi itu dipakai untuk menghakimi dan merendahkan kebenaran agama lain. Pun juga, dalam konteks tertentu –jika suatu agama itu jumlahnya terbesar dalam tempat tertentu—maka kebenarannya coba dipaksakan menjadi kebenaran tunggal yang harus juga diakui dan diterima oleh agama lain. Persis pada titik inilah, jalan apa pun bisa dipakai, termasuk kekerasan, dengan atas nama kebenaran agama.

Dari sini kita bisa mengajukan pertanyaan kenapa agama gagal membentuk manusia? Kenapa nilai universal yang suci dan mulia itu enggan dijelmakan menjadi laku dan sikap keberagamaan?  Ada sesuatu yang dasar dari situ. Pertama, agama merupakan teks pasif. Artinya, nilai-nilai agama baru akan terlihat apabila diaplikasikan oleh manusia. Dengan demikian, manusia punya posisi penting dalam menghidupkan agama.
Kedua, kondisi keyakinan dan pemahaman manusia terhadap realitas yang berbeda-beda menyebabkan adanya interpretasi bias terhadap teks agama. Dengan demikian, sangat terbuka munculnya tafsir-tafsir yang mungkin tidak sesuai dengan pokok ajaran agama. Ingat sebuah tafsir tidak mungkin melompati rezim kuasa-pengetahuan, latar sosio-kultur dan politik. Dengan demikian proses penafsiran bisa di sesuaikan dengan kepentingan. Dan ketiga adalah adanya hegemoni di dalam masyarakat, yang menempatkan orang-orang “berilmu” sebagai kelompok dominan. Agama hanya direpresentasi oleh segelintir orang, yang sekaligus dijadikan rujukan oleh masyarakat.

Tidak hanya konflik antar agama. Konflik dalam tubuh agama itu sendiri kerap muncul. Lihat saja Kasus Lia Aminuddin, Ahmadiyah dan sederetan kasus lainnya. Kasus ini adalah cerminan dari sikap kebanyakan umat Islam yang belum sepenuhnya bisa menerima perbedaan.

Kenapa bisa demikian? Mungkin kita sudah menangkap gejala yang ada belakangan ini bahwa kecenderungan fundamentalistik di kalangan umat Islam Indonesia semakin kentara. Salah satu ciri dari fundamentalisme adalah upaya untuk kembali pada pada suatu keyakinan murni dengan jalan mempurifikasi, membersihkan ajaran dari segala anasir historis yang bisa mendistorsi ajaran. Celakanya, fundamentalistik itu mengarah pada radikalisme dengan menempatkan yang lainnya sebagai musuh yang dikhawatirkan akan bisa mencemari ajaran agamanya.

Hal itu diperparah lagi oleh posisi dan sikap negara yang ambigu. Satu sisi negara menjamin kebebasan berkeyakinan seperti yang tertuang dalam UUD 1945, Pasal 28E ayat (2). Namun sisi lain, agama tidak sekedar mengabaikan konstitusi tersebut tapi lebih jauh lagi, dalam beberapa kasus, negara justru memeprlihatkan kebengisannya dengan merampas keyakinan warganya. Hasrat negara untuk berselingkuh dengan ruang agama tampaknya begitu besar. Hal ini yang menyebabkan relasi Agama-Negara menjadi kabur dan berkelit-kelindang.

Persoalan agama memang menjadi sangat pelik dan sensitif sekaligus membahayakan. Jika agama dipahami dengan spirit pluralisme yang ditambatkan pada nilai universal, maka agama akan menjadi jalan keselamatan. Namun jika agama dipahami secara kaku, untuk menggelar kekuasaan, maka agama akan jadi sumber konflik. Paling tidak itulah yang pernah diwanti-wanti oleh Harold Coward.

tulisan ini pernah dimuat di koran Suara Indonesia (SI)

Tinggalkan komentar