Geger wacana anti-Islam lewat film Fitna besutan politikus dari golongan ultranasionalis, Geert Wilders, hanyalah isu permukaan. Bentuk Islamophobia yang diperlihatkan sejatinya berakar dari problem multikulturalisme di Belanda, utamanya soal migran. Wilders adalah tipe politisi ekstremis yang bermimpi menutup Belanda dari para pendatang, terutama bagi orang Islam yang ingin berimigrasi ke sana.

Yang demikian tampak jelas dari salah satu bagian dalam film penebar kebencian tersebut. Pemunculan gambar-gambar masjid mengiringi narasi suara orang tak dikenal yang mengemukakan bahwa masjid akan menjadi bagian sistem pemerintahan di Belanda. Lalu muncul gambar diagram batang yang menera pertumbuhan pemeluk Islam di Belanda. Mulai 54 jiwa pada 1909 sampai 944.000 jiwa pada 2004. Bagian ini menandai sikap paranoid Wilders terhadap laju statistik pemeluk agama Islam di sana.

Kegelisahan dan kekhawatiran itu kian dipertegas oleh Wilders dengan menampilkan jumlah pemeluk Islam di Eropa pada 2007 yang mencapai 54 juta jiwa, diiringi dua pegawai laki-laki berseragam yang tengah memasuki masjid untuk menunaikan shalat. Wilders tampaknya tak nyaman dan merasa terancam dengan fakta ini. Baca entri selengkapnya »

Belajar bahasa dengan cara kilat. Tidak perlu repot-repot kursus. Cukup segelas air dan menghafal doa.

Boleh jadi ini sekolah paling kilat sedunia. Murid tidak butuh waktu berbulan-bulan atau bahkan tahunan, seperti kursus-kursus bahasa atau sekolah-sekolah yang lain. Singkat memang. Cukup tiga hari, bahkan dua jam, murid sudah mampu melafalkan enam sampai tujuh bahasa asing dengan ringan.

Memang lain dari yang lain. Saat belajar, murid tak perlu membawa sepatu, seragam, bulpen, buku, dan alat belajar lainnya. Apakah peralatannya sebegitu canggih? Tidak. Bahkan sangat sederhana: Cukup ada air dan gelas saja.

Sekolah elit? Bukan. Ini sekolah wirid. Siapapun bisa mendaftarkan diri. Bahkan biaya yang diperlukan jauh di bawah biaya sekolah atau kursus pada umumnya. Cukup hanya dengan Rp. 150.000 sampai Rp. 300.000, murid sudah bisa mengikuti sekolah ini. Yang membedakan besar-kecilnya nominal biaya tersebut hanya soal waktu. Jika membayar Rp. 150.000, maka waktu yang dibutuhkan selama 3 hari. Seandainya membayar Rp. 200.000, maka perlu 2 hari. Kalau ingin sehari, bisa bayar Rp. 250.000. Dan lebih pendek lagi, hanya dua jam, bisa diganti dengan Rp. 300.000. Baca entri selengkapnya »

Aksi penuntutan pembubaran Front Pembela Islam (FPI) merebak di berbagai daerah. Tak terkecuali, di Bandung, pekik suara pembubaran itu pun terdengar lantang. Ini agaknya bukan sekadar buntut dari insiden Monas, tapi merupakan titik kulminasi kekesalan terhadap FPI yang selama ini gemar melakukan cara-cara kekerasan.

Kamis, 5 Juni 2008, sekitar dua ratus orang yang tergabung dalam Aliansi untuk Kerukunan Umat Beragama (AKUR) Provinsi Jawa Barat, melakukan aksi menuntut pembubaran FPI. AKUR merupakan gabungan dari beberapa organnisasi, yaitu: Jaka Tarub, Jaker PAKB2, LBH Bandung, PBHI, DESANTARA Foundation, Fahmina Institute, GMBI, Pagar Nusa, Garda Bangsa, Garda Kemerdekaan, GP Anshor, GPM, GKP, IJABI, PMII, IPNU, GMKI, PMKRI, MKAI, FORDISMAPELAR, RUM, FKHU, APPKL, SPMI, AL-AFKAR, KI SUNDA, BPPKR.
Aksi dimulai dari Gedung NU Jalan Yuda No 3 Kota Bandung dengan cara berkonvoi; sebagian menggunakan kendaraan bermotor dan sebagian lainnya memakai mobil. Baca entri selengkapnya »

Rekomendasi Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakor Pakem) untuk pembubaran Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang dilahirkan dari rapat evaluasi tanggal 16 April 2008 lalu ternyata semakin manaikkan suhu keteganggan yang sudah lama menyala.

Kehidupan jemaat Ahmadiyah di berbagai daerah menjadi tak tenang. Hari-hari mereka kini dibalut rasa takut dan cemas: cemas karena setiap saat memungkinkan didatangi oleh gerombolan orang-orang yang selama ini menghendaki Ahmadiyah enyah dari bumi Indonesia; takut akan keselamatan diri dan keluarga serta aset-aset mereka yang setiap saat bisa menjadi sasaran amuk orang-orang beringas itu. Baca entri selengkapnya »

“Aliran Sesat”. Demikian kalimat mantra yang gemar dirapalkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk memerangi “kelompok sempalan” (baca: aliran) dalam Islam yang berbeda dengan kelompok mainstream. Siapapun, kelompok manapun, aliran apapun yang terkena mantra ini wajahnya akan segera menghitam penuh noda. Karenanya, ia harus dikucilkan, atau dienyahkan sekalian agar ‘virusnya’ tak menyebar.

Di level grassroot, mantra yang berwujud fatwa ini memiliki daya magis luar biasa. Muski posisi produk fatwa tidak mengikat –sama dengan hasil ijtihat individual–, namun ia mampu menyihir kesadaran masyarakat dan menggiringnya untuk meyakini satu kebenaran versi kelompok mainstream. Hampir setiap MUI memfatwakan sesat terhadap aliran tertentu, selalu diikuti gemuruh reaksi emosi yang berujung pada tindak kekerasan di masyarakat lapis bawah dengan atas nama kebenaran.

Contohnya sudah tak terhitung. Kasus yang paling anyar adalah fatwa sesat terhadap Al-Qiyadah Al-Islamiyah. Salah satu indikasi kesesatan aliran ini antara lain, mengubah kredo persaksian (syahadatain), dan mengakui adanya Rasul setelah Rasulullah Muhammad. Kasus ini bukan yang pertama kali. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana kelompok Ahmadiyah di berbagai tempat “dihakimi” massa akibat fatwa yang sewenang-wenang itu. Beberapa contoh lainnya adalah: Islam Jamaah, Ahmadiyah Qadian, DI/TII, Mujahidin’nya Warsidi (Lampung), Syi’ah, Baha’i, “Inkarus Sunnah”, Darul Arqam (Malaysia), Jamaah Imran, gerakan Usroh, aliran-aliran tasawwuf berfaham wahdatul wujud, Tarekat Mufarridiyah, dan gerakan Bantaqiyah (Aceh). Baca entri selengkapnya »

Sebentar lagi, tepatnya 13 Maret 2008, Jawa Barat akan menggelar hajatan akbar berupa Pemilihan Kepala Daerah tingkat provinsi atau yang lazim dikenal dengan Pilkada. Biasanya, momen seperti itu akan selalu dirayakan secara meriah bersamaan dengan selebrasi para kontestan yang tengah pasang jurus untuk merebut simpati masyarakat demi sebuah ‘kemenangan’.

Di balik semua tertib upacara prosedural yang perlu ditempuh, di balik segala hingar bingar kemeriahan kampanye yang sekarang mulai dijalankan, Pilkada kali ini berlangsung di saat Jawa Barat didera berbagai kasus kekerasan atas nama agama yang menyisakan serangkain problem kemanusiaan dan hukum. Baca entri selengkapnya »

Al-din wahid wa al-syari’atu mukhtalifah (Ibn ‘Aqil). Dengan demikian, memformalisasikan satu bentuk syariat tentu akan menghancurkan syariat Islam yang lain.

Wacana khilafah kembali bergejolak di dataran Indonesia belakangan ini. Isu ambisius ini sontak mengobarkan perseteruan terbuka antara mereka yang pro dan yang kontra. Bagi yang mengamini, khilafah adalah panacea bagi penyelesaian serangkaian problem kemanusiaan sekaligus sebagai jalan pemersatu umat Islam di dunia. Namun bagi mereka yang menolak, khilafah tak lebih hanya sebuah mimpi besar tentang ‘kejayaan Islam’ yang naïf dan tidak mendasar karena berusaha merekonstruksi sejarah sebagai wajah tunggal untuk dihadirkan dalam masa kekinian. Dan di level kebangsaan, khilafah justeru akan menggerus nilai budaya lokal yang telah lama berakar urat, serta bisa menggoyah keutuhan NKRI.

Kobaran api itu datang dari Stadion Utama Bung Karno beberapa pekan lalu, tepatnya Minggu, 12 Agustus 2007. Penyulutnya tak lain adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang sedang menggelar hajatan Konferensi Khilafah Internasional 2007 bertajuk “Saatnya Khilafah Memimpin Dunia”. Sungguh sebuah hajatan besar yang membelalakkan dan sekaligus meresahkan mereka yang selama ini mempunyai kegelisahan terhadap fenomena kian merebaknya gerakan-gerakan Islam yang mempunyai politik dan ideologi transnasional.

Seratus ribu lebih orang dengan mengenakan atribut dan simbol HTI tumplek jadi satu di stadion. Mereka terdiam, dan dengan khidmat mendengarkan orasi dan paparan tiga narasumber yang didatangkan dari luar negeri. Mereka adalah Profesor Dr Hassan Ko Nakata (Guru Besar Doshisha University, Kyoto/Presiden Asosiasi Jepang), Dr Salim Atcha (Hizbut Tahrir Inggris), dan Syekh Usman Abu Khalil (Hizbut Tahrir Sudan) yang menyampaikan materi dilengkapi dengan lima pembicara dari dalam negeri, yakni Profesor Dr. Din Syamsuddin (Ketua Umum PP Muhammadiyah/Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia), Aa Gym (PP Daarut Tauhid, Bandung), KH Amrullah Ahmad (Ketua Umum Syarikat Islam), dan Tuan Guru Turmudzi (Syuriah Nahdlatul Ulama Nusa Tenggara Barat) serta KH Tohlon (MUI Sumatera Selatan). Baca entri selengkapnya »

Rakyat Jawa Barat kini tengah bersiap-siap merayakan “Pesta Demokrasi” –meminjam istilahnya Sabam Sirait untuk menyebut pemilu. Bagi banyak masyarakat, Pilkada tingkat provinsi kali ini memiliki arti penting. Sebab ada setumpuk harapan yang tersandar di sana; harapan akan lahirnya sebuah perubahan sistem dan seorang pemimpin yang lebih bisa memperhatikan nasib mereka yang selama ini terabaikan.

Meskipun tidak menutup mata pula, bercermin dari sejarah yang ada, Pilkada terkadang hanya menyisakan kekecewaan bagi masyarakat yang sulit diobati. Sebab, Pilkada tidak lebih dari sekedar momen selebrasi para kontestan yang suka mengumbar janji-janji menggiurkan. Fakta demikian memang tidak bisa disangkal. Baca entri selengkapnya »

Pagi sepenuhnya belum beranjak, kira-kira matahari naik sejengkal dari ufuk timur, Desa Manis Lor yang berada di kaki bukit Ciremai sudah diselimuti situasi mencekam. Jalan Wisaprana –jalan utama desa– yang membujur ke arah timur-barat sepagi itu biasanya riuh dengan lalu-lalang warga yang hendak bepergian ke sawah, kali ini tampak sepi. Hanya terlihat gerombolan-gerombolan kecil warga di teras rumah mereka yang tengah membicarakan sesuatu. Entah apa persisnya yang dibicarakan, yang jelas dari wajah mereka membias kecemasan dan kekhawatiran mendalam. Pagi itu adalah selasa, 18 Desember 2007. Baca entri selengkapnya »

Fundamentalisme agama sesungguhnya bukanlah diskursus baru sama sekali dalam jagad pewacanaan kita. Ia adalah langgam lawas yang seringkali dibeber, diudar, diulas dan diperdebatkan dengan kerangka dan perspektif yang berbeda-beda. Kemunculannya pun masih diperdebatkan. Ada yang mengatakan bahwa fundamentalisme adalah benih yang memang ada di setiap agama, ada pula yang bilang merupakan reaksi atas modernitas-sekularisasi yang mengagungkan subyek dan hanya menyisakan kehampaan spiritual. Yang pertama lebih bercorak doktrin religius dan teologis, sementara yang kedua lebih bersifat politis. Baca entri selengkapnya »