Mengencangkan Tali Multikultural Melalui Gerakan Persma

Mei 28, 2009

Awalan
Tulisan ini mencoba untuk mempertemukan dua ranah gerakan yang berbeda: gerakan multikultural dan gerakan Persma. Keduanya selama ini dibayangkan saling berjarak dan seolah mustahil untuk disandingkan. Sebab, ranah yang pertama dilihat sebagai suatu gerakan yang hanya berkutat pada wilayah kebudayaan belaka, sementara yang satunya dipahami lebih sempit lagi, hanya berurusan dengan persoalan tulis-menulis, itu pun harus dilokalisir di ruang kampus. Namun sejatinya pemahaman seperti demikian terlalu dangkal dan reduktif.

Multikulturalisme adalah sebuah gerakan politik kebudayaan yang sedemikian luas. Ia lintas sektoral, lintas kebudayaan, bahkan lintas teretorial dan ideologi nation-state. Multikulturalisme berupaya mendobrak sekat-sekat eksklusivitas penanda kultural, etnis, ras, bahasa, agama, dan bangsa. Dengan begitu, multikulturalisme sebenarnya ingin mengajarkan dan mendorong adanya suatu interaksi dinamis antar penanda-penanda tersebut yang selama ini dipahami terlalu kaku yang akhirnya menjadikan mereka saling tidak tahu dan tidak kenal satu sama lainnya. Bahkan, lebih menggelisahkan lagi, ketika perbedaan identitas itu dilambari dengan sikap ego dan saling mencurigai antarsesamanya. Dan, ini bukanlah sesuatu yang asing di Indonesia. Berbagai gejolak dan konflik yang diakibatkan buruknya hubungan antarkelompok dalam masyarakat kita seolah menjadi problem keseharian bangsa yang kian hari kian menumpuk. Pada titik inilah, gerakan multikulturalisme menjadi sedemikian penting untuk membangun dan menyediakan ruang perjumpaan bagi beragam diversitas tersebut.

Sementara gerakan Pers Mahasiswa (Persma), jika mengacu pada definisinya, mengandung dua unsur: pers dan mahasiswa (lexical meaning). Pers, berarti segala macam media komunikasi yang ada, meliputi buku, majalah, koran, buletin, radio ataupun telivisi serta kantor berita. Dan, Pers itu sendiri identik dengan news (berita). Maka, tidak salah jika kita mengatakan bahwa NEWS berkaitan dengan North, East, West dan South, yang artinya suatu kabar atau berita dan informasi yang datangnya dari empat arah penjuru mata angin (berbagai tempat).

Pada unsur kedua, mahasiswa adalah suatu kelompok elit marjinal dalam lingkungan suatu dilema. Seperti yang dikatakan oleh Frank. A . Pinner dalam salah satu ungkapannya, yaitu “marginal elites, of which students are one species, are cought in a dilemma, between elitist and populist attitude. They are impelled to protect their distinctiveness and privilege while at the sime time documenting their concern for the common man and he community or policy as a whole their own position or the integrity of society appears to be threated”.

Sosok Mahasiswa juga kental dengan nuansa kedinamisan dan sikap keilmuannya yang dalam melihat sesuatu berdasarkan kenyataan obyektif, sistematis dan rasional. Disamping itu, Mahasiswa merupakan suatu kelompok masyarakat pemuda yang mengenyam pendidikan tinggi, tata nilai kepemudaan dan disiplin ilmu yang jelas sehingga hal ini menyebabkan keberanian dalam merefleksikan kenyataan hidup di masyarakat. Dan tata nilai itulah yang juga menyebabkan mereka menjadi radikal, kritis, dan emosional yang kemudian secara perlahan menuju suatu peradaban/ kultur baru yang signifikan dengan hal-hal yang bernuansa aktif, dinamis dan senang pada perubahan. Dengan kata lain, pere mahasiswa memiliki peranan yang cukup strategis dalam menentukan sebuah proses perubahan, baik sosial, politik, kebudayaan dan seterusnya. Tinggal bagaimana kemudian kelompok yang satu ini mampu melihat realitas secara peka dan tajam, lalu kemudian merefleksikannya secara kritis.

Pada konteks inilah, pertautan antara gerakan multikulturalisme dan gerakan Persma dimungkinkan. Semangat tinggi dan emosi kuat akan sebuah berubahan dalam diri mahasiswa adalah modal penting untuk menghadapi realitas bangsa yang carut-marut ini akibat ketegangan hubungan antarkelompok masyarakat dari berbagai latar identitas. Di tengah bekunya dialog antarkebudayaan, antaretnis, antaragama, gerakan Persma dituntut secara moral-politik untuk turut serta terlibat dalam setiap usaha penyelesaian berbagai problem kebangsaan ini, baik melalui medianya maupun gerakan yang lainnya.

Namun, membuat suatu informasi (berita) yang kritis bukanlah sesuatu yang mudah. Terkadang, pemberitaan yang dilakukan oleh Persma justru –disadari atau tidak– menyokong narasi dominan yang tengah berkembang di tengah masyarakat dan jatuh pada logika serta kepentingan kelompok mainstream. Untuk itu, perlu adanya lambaran perspektif kritis dalam melihat setiap persoalan tersebut yang di dalamnya melibatkan tarik-ulur berbagai kepentingan, agar tidak mudah larut dan terombang-ambing di dalamnya.
Dari sinilah, perspektif multikulturalisme yang melihat diversitas tersebut dengan kritis dan kemudian menyajikannya dengan penuh empati bisa menjadi salah satu pilihan pisau analisa dalam mengembangkan dan menajamkan kelompok Persma dalam setiap mengurai problematika yang ada, utamanya yang berkaitan dengan kebudayaan.

Memahami Multikulturalisme?
Multikulturalisme adalah sebuah filosofi —terkadang ditafsirkan sebagai ideologi— yang menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial politik yang sama dalam masyarakat modern. Istilah multikultural juga sering digunakan untuk menggambarkan kesatuan berbagai etnis masyarakat yang berbeda dalam suatu negara.

Multikulturalisme bertentangan dengan monokulturalisme dan asimilasi yang telah menjadi norma dalam paradigma negara-bangsa (nation-state) sejak awal abad ke-19. Monokulturalisme menghendaki adanya kesatuan budaya secara normatif (istilah ‘monokultural’ juga dapat digunakan untuk menggambarkan homogenitas yang belum terwujud (pre-existing homogeneity). Sementara itu, asimilasi adalah timbulnya keinginan untuk bersatu antara dua atau lebih kebudayaan yang berbeda dengan cara mengurangi perbedaan-perbedaan sehingga tercipta sebuah kebudayaan baru.

Sebagai sebuah ideologi, multikulturalisme menekankan pengakuan dan penghargaan pada kesederajatan perbedaan kebudayaan. Tercakup dalam pengertian kebudayaan adalah para pendukung kebudayaan, baik secara individual maupun secara kelompok, dan terutama ditujukan terhadap golongan sosial askriptif yaitu sukubangsa (dan ras), gender, dan umur. Ideologi multikulturalisme ini secara bergandengan tangan saling mendukung dengan proses-proses demokratisasi, yang pada dasarnya adalah kesederajatan pelaku secara individual (HAM) dalam berhadapan dengan kekuasaan dan komuniti atau masyarakat setempat.

Dalam ideologi ini, kelompok-kelompok budaya tersebut berada dalam kesetaraan derajat, demokratis dan toleransi sejati. Dengan sendirinya, di dalam masyarakat majemuk belum tentu dapat dinyatakan masyarakat multikultural, karena di dalamnya terdapat hubungan antarkekuatan masyarakat varian budaya yang tidak simetris yang selalu hadir dalam bentuk dominasi, hegemoni dan kontestasi.

Konsep masyarakat multikultural sebenarnya relatif baru. Multikulturalisme mulai dijadikan kebijakan resmi di negara berbahasa-Inggris (English-speaking countries), yang dimulai di Kanada pada tahun 1970. Kebijakan ini kemudian diadopsi oleh sebagian besar anggota Uni Eropa, sebagai kebijakan resmi, dan sebagai konsensus sosial di antara elit. Namun beberapa tahun belakangan, sejumlah negara Eropa, terutama Belanda dan Denmark, mulai mengubah kebijakan mereka ke arah kebijakan monokulturalisme. Pengubahan kebijakan tersebut juga mulai menjadi subyek debat di Britania Raya dam Jerman, dan beberapa negara lainnya.
Kanada pada waktu itu didera konflik yang disebabkan masalah hubungan antarwarga negara. Masalah itu meliputi hubungan antarsuku bangsa, agama, ras, dan aliran politik yang terjebak pada dominasi. Konflik itu diselesaikan dengan digagasnya konsep masyarakat multikultural yang esensinya adalah kesetaraan, menghargai hak budaya komunitas dan demokrasi. Gagasan itu relatif efektif dan segera menyebar ke Australia, Eropa dan menjadi produk global.

Sementara itu, kalau kita melihat apa yang terjadi di Amerika Serikat dan di negara-negara Eropa Barat maka sampai dengan Perang Dunia ke-2 masyarakat-masyarakat tersebut hanya mengenal adanya satu kebudayaan, yaitu kebudayaan Kulit Putih yang Kristen. Golongan-golongan lainnya yang ada dalam masyarakat-masyarakat tersebut digolongkan sebagai minoritas dengan segala hak-hak mereka yang dibatasi atau dikebiri. Di Amerika Serikat, berbagai gejolak untuk persamaan hak bagi golongan minoritas dan kulit hitam serta kulit berwarna mulai muncul di akhir tahun 1950-an. Puncaknya adalah pada tahun 1960-an dengan dilarangnya perlakuan diskriminasi oleh orang Kulit Putih terhadap orang Kulit Hitam dan Berwarna di tempat-tempat umum, perjuangan Hak-Hak Sipil, dan dilanjutkannya perjuangan Hak-Hak Sipil ini secara lebih efektif melalui berbagai kegiatan affirmative action yang membantu mereka yang tergolong sebagai yang terpuruk dan minoritas untuk dapat mengejar ketinggalan mereka dari golongan Kulit Putih yang dominan di berbagai posisi dan jabatan dalam berbagai bidang pekerjaan dan usaha (lihat Suparlan 1999).

Di tahun 1970-an, upaya-upaya untuk mencapai kesederajatan dalam perbedaan mengalami berbagai hambatan, karena corak kebudayaan Kulit Putih yang Protestan dan dominan itu berbeda dari corak kebudayaan orang Kulit Hitam, orang Indian atau Pribumi Amerika, dan dari berbagai kebudayaan bangsa dan sukubangsa yang tergolong minoritas sebagaimana yang dikemukakan oleh Nieto (1992) dan tulisan-tulisan yang di-edit oleh Reed (1997). Yang dilakukan oleh para cendekiawan dan pejabat pemerintah yang pro demokrasi dan HAM, dan yang anti rasisme dan diskriminasi adalah dengan cara menyebarluaskan konsep multikulturalisme dalam bentuk pengajaran dan pendidikan di sekolah-sekolah di tahun 1970an. Bahkan anak-anak Cina, Meksiko, dan berbagai golongan sukubangsa lainnya dewasa ini dapat belajar dengan menggunakan bahasa ibunya di sekolah sampai dengan tahap-tahap tertentu (Nieto 1992). Jadi kalau Glazer (1997) mengatakan bahwa ‘we are all multiculturalists now’ dia menyatakan apa yang sebenarnya terjadi pada masa sekarang ini di Amerika Serikat, dan gejala tersebut adalah produk dari serangkaian proses-proses pendidikan multikulturalisme yang dilakukan sejak tahun 1970-an.

Dari sini kita bisa melihat bahwa multikulturalisme bukanlah konsepsi yang terpisah dari konsep lainnya, namun saling mendukung. Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara lain adalah, demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, sukubangsa, kesukubangsaan, kebudayaan sukubangsa, keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya komuniti, dan konsep-konsep lainnya yang relevan (Fay 1996, Rex 1985, Suparlan 2002).

Merancang Masyarakat Indonesia yang Multikultural
Multikulturalisme yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesedarajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan sebenarnya telah digunakan sebagai acuan oleh para pendiri bangsa Indonesia (founding fathers) dalam mendesain apa yang dinamakan sebagai kebudayaan bangsa, sebagaimana yang terungkap dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi: “kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah”. Dari sini tampak jelas bahwa Indonesia itu terbentuk dari kebudayaan-kebudayaan masyarakat kecil, dan dengan itu pula pengakuan terhadap yang kecil-kecil tersebut adalah kunci dari konsep multikultural ini.

Namun, rumusan konsep multikulturalisme yang sudah dibangun oleh founding fathers kita dibabat habis oleh rezim Orde Baru yang tampaknya tidak menghendaki adanya kesederajajatan terhadap yang kecil-kecil tersebut. Atas nama stabilitas dan kontrol, rezim Orba kemudian menggerus dan meleburkan ragam partikularistik itu menjadi sesuatu yang tunggal. Yang terjadi kemudian monokultural dengan cara asimilasi kebudayaan. Yang terjadi kemudian, Jawa direpresentasi sebagai kebudayaan adiluhung (dominan) sementara yang lainnya dipaksa untuk mengikuti Jawa. Standardisasi ini kemudian merambah ke segala aspek kehidupan mulai dari ekonomi, sosial, politik, hingga pembangunan.

Penyeragaman dan kontrol yang berlebihan ini tentu saja melahirkan berbagai protes keras dari daerah-daerah yang selama ini dianaktirikan dalam segala hal. Akumulasi kekecewaan itu kemudian meledak pada 1998 yang kemudian menandai lahirnya era baru: era reformasi.

Bagi Masyarakat Indonesia yang telah melewati reformasi, masyarakat multikultural bukan hanya sebuah wacana atau yang dibayangkan. Tetapi sebuah ideologi yang harus diperjuangkan karena dibutuhkan sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi, HAM dan kesejahteraan masyarakat. Karena itu, konsep multikultural ini tidak henti-hentinya untuk selalu dikomunikasikan di antara ahli sehingga ditemukan kesamaan pemahaman dan saling mendukung dalam memperjuangkan ideologi ini.

Inti dari cita-cita reformasi adalah sebuah masyarakat sipil demokratis, adanya dan ditegakkannya hukum untuk supremasi keadilan, pemerintahan yang bersih dari KKN, terwujudnya keteraturan sosial dan rasa aman dalam masyarakat yang menjamin kelancaran produktivitas warga masyarakat, dan kehidupan ekonomi yang mensejahterakan rakyat Indonesia. Bangunan Indonesia Baru dari hasil reformasi atau perombakan tatanan kehidupan Orde Baru adalah sebuah “masyarakat multikultural Indonesia” dari puing-puing tatanan kehidupan Orde Baru yang bercorak “masyarakat majemuk” (plural society). Sehingga, corak masyarakat Indonesia yang bhinneka tunggal ika bukan lagi keanekaragaman sukubangsa dan kebudayaannya tetapi keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia.

Tapi sayangnya, harapan besar dan cita-cita reformasi sekarang, tampaknya mengalami kemacetan, dan menemukan kenyataan yang menjemukan. Kehidupan politik dari hari ke hari semakin tanpa arah. Persaingan antarelit berlangsung tanpa kontribusi bagi pelembagaan demokrasi. Kita prihatin terhadap arah kehidupan demokrasi yang mulai mandek itu. Kita prihatin atas langkah-langkah pemulihan ekonomi yang tak menentu. Kita prihatin terhadap aktivitas nepotisme dan korupsi yang kembali merajalela.

Era reformasi yang meruntuhkan tatanan sentralistik yang kemudian digantikan oleh desentralistik dalam praktiknya juga masih menyisakan segudang permasalahan. Di tengah semangat otonomi daerah yang kemudian dibarengi dengan pemekaran wilayah tampaknya hanya dipahami sebatas peralihan kekuasaan dari pusat ke daerah. Cara pemahaman seperti ini bukan malah menuju pada cita-cita desentralisasi yang ingin memeratakan kesejahteraan masyarakatnya, melainkan justru mengarah pada perebutan kekuaan di tingkat elit politik lokal. Lihat saja bagaimana setiap momentum Pilkada masih demikian kentalnya dengan urusan perebutan kursi dan sekitarnya. Sementara tema-tema keadilan, penegakan hukum, kesejahteraan, dan pendidikan hanya sebatas sebagai jargon kosong makna yang dijadikan sebagai komodifikasi politik para kontestan.

Jika demikian adanya, maka desentarlisasi tidak lebih dari sekadar pembagian jatah kekuasaan. Yang lahir darinya kemudian adalah para raja-raja kecil tingkat lokal.

Tidak hanya itu. Era reformasi juga belum menjadi ruang kondusif bagi harmonisasi kehidupan kelompok-kelompok masyarakat, utamanya kelompok agama dan keyakinan. Berbagai ketegangan yang tak jarang berujung pada konflik masih kerap terjadi. Kelompok agama tertentu yang merasa paling benar dengan mudah menghakimi kelompok agama lain yang dianggap sesat. Bahkan, mereka tak segan-segan menghancurkan tempat ibadah dan fasilitas lainnya dari kelompok agama minoritas. Mungkin masih segar dalam ingatan kita bagaimana aliran Ahmadiyah dihakimi oleh massa yang mengatasnamakan agama tertentu di sejumlah daerah; gereja-gereja ditutup dengan alasan tidak memiliki izin; alriran-aliran kecil dikejar-kejar karena dianggap menyimpang; tokoh aliran tertentu diperadilkan karena buku karyanya dianggap bertentangan dengan Islam; aliran kepercayaan (agama lokal) yang sudah hidup dan berkembang lama di bumi ini diserang; dan sederet kasus lainnya.

Semua ini menandakan betapa buruknya hubungan antaragama/ kepercayaan di Indonesia. Padahal, negara ini sudah merativikasi International Convention on Civil and Political Right (ICCPR) melalui UU No. 12 tahun 2005. Dengan meratifikasi kovenan tersebut, harusnya negara melindungi sepenuhnya hak kebebasan mereka, kelompok-kelompok minoritas.

Kasus yang lain juga menimpa kelompok minoritas etnik Tionghoa miskin dan agama Khonghucu di Surabaya. Mereka terpaksa tidak memiliki status kewarganegaraan (stateless) karena dipersulit oleh pemerintah, padahal undang-undang sudah menjaminnya. Belum lagi berbagai kasus komunitas adat yang tidak diberikan hak ulayatnya.

Kesuluran dari kasus-kasus di atas memperlihatkan bahwa masih betapa buruknya wajah kebangsaan kita. Demokrasi belum sepenuhnya berjalan, karena urat dasar hubungan antarkelompok ini tidak terbangun secara baik.

Semua kemacetan di atas, kata Parsudi Suparlan, sebaiknya digulirkan kembali. Alat pengguliran bagi proses reformasi sebaiknya menggeser ideologi masyarakat majemuk. Berisi potensi kekuatan primordial yang otoriter-militeristik menjadi ideologi masyarakat multikultural. Sudah saatnya, pasca reformasi ini, Masyarakat Indonesia mempunyai pedoman hidup mendasarkan bagi kebersamaan yang sederajat dan sebuah pedoman praktikal dalam menghadapi kehidupan nyata sehari-hari. Kita harus bersedia menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa mempedulikan perbedaan sukubangsa, agama, budaya, jender, bahasa, kebiasaan, ataupun kedaerahan.

Multikultural memberi penegasan, segala perbedaan mereka itu adalah sama di dalam ruang publik. Dengan kata lain, adanya komunitas yang berbeda saja tidak cukup, sebab yang terpenting komunitas itu diperlakukan sama oleh negara. Adanya kesetaraan dalam derajat kemanusiaan yang saling menghormati, diatur oleh hukum yang adil dan beradab yang mendorong kemajuan dan menjamin kesejahteraan hidup warganya.

Kesetaraan dalam derajat kemanusiaan hanya mungkin terwujud dalam praktik nyata dengan adanya pranata sosial, terutama pranata hukum yang merupakan mekanisme kontrol secara ketat dan adil mendukung dan mendorong terwujudnya prinsip demokrasi dalam kehidupan nyata. Demikian pula, prinsip masyarakat sipil demokratis yang dicita-citakan reformasi, hanya mungkin dapat berkembang dan hidup secara mantap dalam Masyarakat Indonesia, apabila warganya mempunyai toleransi terhadap perbedaan dalam bentuk apa pun.
Diskriminasi sosial, politik, budaya, pendidikan dan ekonomi yang berlaku di masa pemerintahan Orba, secara bertahap maupun radikal harus dikikis oleh kemauan untuk menegakkan demokrasi demi kesejajaran dalam kesederajatan kemanusiaan sebagai Bangsa Indonesia.

Sebagai sebuah ide atau ideologi multikulturalisme terserap dalam berbagai interaksi yang ada dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan manusia yang tercakup dalam kehidupan sosial, kehidupan ekonomi dan bisnis, dan kehidupan politik, dan berbagai kegiatan lainnya di dalam masyarakat yang bersangkutan Kajian-kajian mengenai corak kegiatan, yaitu hubungan antar-manusia dalam berbagai manajemen pengelolaan sumber-sumber daya akan merupakan sumbangan yang penting dalam upaya mengembangkan dan memantapkan multikulturalisme dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi Indonesia.

***

Dalam upaya pemantapan multikulturalisme inilah, pers mahasiswa bisa masuk dan kemudian mengambil peran-peran yang strategis. Gerakan media dan gerakan sosial politik lainnya memiliki arti penting untuk mewujudkan tatanan masyarakat Indonesia yang multikultural.

Melalui media misalnya, kita diharapkan mampu menyajikan sebuah informasi dengan perspektif kritis terkait dengan berbagai gejolak dan konflik yang terjadi akibat buruknya huubungan kelompok-kelompok yang ada di masyarakat. Jika pers mahasiswa tidak memiliki sensivitas tinggi dan daya kritis, tidak mustahil kiranya segala pemberitaan yang dibuatnya akan bias, bahkan terkadang turut memperkeruh suasana dan menjerumuskan kelompok minoritas. Contah nyata misalnya pemberitaan yang dilakukan oleh media umum dalam kasus Ahmadiyah. mereka tidak mampu mengurai konflik ahmadiyah yang bersifat teologis itu secara kritis, melain larut dalam arus wacana dominan yang diciptakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sehingga term “sesat” yang diproduksi oleh MUI itu oleh kalangan jurnalis direproduksi pula dalam setiap pemberitaan mereka.
Fakta ini tentu menyedihkan bagi perkembangan demokrasi dan HAM di Indonesia, terlebih bagi dunia pers. Sebab, pers yang seharusnya menjadi pilar demokrasi malah terjebak dalam medan politik penyesatan kelompok agama tertentu dan mendiskridirkan kelompok agama lainnya.

Belajar dari fakta ini, maka pers mahasiswa harus mampu mengambil posisi dan peranan yang lebih bermakna bagi demokrasi dan HAM, baik itu melalui aktivitas pemberitaannya maupun aktivitas lainnya. Untuk itulah, kebingungan pers mahasiswa yang tak kunjung usai karena merasa kehilangan common enemy seiring tumbangnya Suharto tidaklah sepenuhnya bisa dibenarkan. Justru yang harus dihadapi saat ini jauh lebih kompleks. Sebab Orde Baru tidak bisa semata-mata dipersonifikasi hanya Suharto, tapi ia adalah sistem yang sudah terajut sedemikian kuat dan langgengnya. Ia tak hanya terjadi di level pusat –kala itu–, tapi sekarang sudah menjalar dan meresap ke dalam sistem pemerintahan daerah berikut dengan segenap tatanan sosial, budaya, politik, dan ekonominya.

Karenanya, pers mahasiswa tidak semustinya terkecoh oleh simbol Orde Baru yang hanya disempitkan pada figur Suharto, yang akhirnya menjadikan mereka kebingungan dan seolah tidak ada yang dihadapi. Justru di tengah kuatnya ideologi neoliberalisme seperti saat ini, tantangan pers mahasiswa jauh semakin kompleks. Kalau demikian, apakah pers mahasiswa masih tetap duduk terdiam dalam kebingungannya ataukah bergegas bangun untuk menatap realitas bangsa yang sedemikian carut-marut ini lalu berusaha menyelesaikannya?

* Makalah ini disampaikan dalam acara Seminar Nasional “Peran Pers Mahasiswa Dalam Mengawal Dinamika Kerakyatan” di Baubau-Sulawesi Tenggara, 21 Desember 2008.

2 Responses to “Mengencangkan Tali Multikultural Melalui Gerakan Persma”


  1. Uraiannya bagus. hanya saja saya menambahkan bahwa multikulturalisme selain diartikan persamaan ras di ruang-ruang publik juga dapat kita maknakan sebagai konsep kultural dimana sesorang yang berasal dari kultur berbeda bisa hidup berdampingan, bekerja sama untuk kemanusiaan. Multikulturalisme menegasikan sikap parsial dan despotik pihak-pihak tertentu. dalam multikulturalisme kemampuan masing-masing etnik amat menentukan apakah etnik itu eksis atau tidak di masyarakat.

  2. Asyiro Says:

    Era reformasi juga belum menjadi ruang kondusif bagi harmonisasi kehidupan kelompok-kelompok masyarakat, utamanya kelompok agama dan keyakinan. Berbagai ketegangan yang tak jarang berujung pada konflik masih kerap terjadi. Kelompok agama tertentu yang merasa paling benar dengan mudah menghakimi kelompok agama lain yang dianggap sesat. Bahkan, mereka tak segan-segan menghancurkan tempat ibadah dan fasilitas lainnya dari kelompok agama minoritas. Mungkin masih segar dalam ingatan kita bagaimana aliran Ahmadiyah dihakimi oleh massa yang mengatasnamakan agama tertentu di sejumlah daerah; gereja-gereja ditutup dengan alasan tidak memiliki izin;

    Yah, saya sependapat dg penuturan anda ttg ‘Multikulturalisme’ yg seharusnya ada di Negeri Tercinta (Pancasila) ini karena dg begitu akan menjadi lebih jelas & tegas identitas Indonesia dimata dunia dan bangsa kita bisa semakin disegani.

    Salam Kenal. Mampir mas ke
    http://jeansboeloek.multiply.com
    http://carolusispryono.blokdetik.com


Tinggalkan komentar