“Aliran Sesat”. Demikian kalimat mantra yang gemar dirapalkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk memerangi “kelompok sempalan” (baca: aliran) dalam Islam yang berbeda dengan kelompok mainstream. Siapapun, kelompok manapun, aliran apapun yang terkena mantra ini wajahnya akan segera menghitam penuh noda. Karenanya, ia harus dikucilkan, atau dienyahkan sekalian agar ‘virusnya’ tak menyebar.

Di level grassroot, mantra yang berwujud fatwa ini memiliki daya magis luar biasa. Muski posisi produk fatwa tidak mengikat –sama dengan hasil ijtihat individual–, namun ia mampu menyihir kesadaran masyarakat dan menggiringnya untuk meyakini satu kebenaran versi kelompok mainstream. Hampir setiap MUI memfatwakan sesat terhadap aliran tertentu, selalu diikuti gemuruh reaksi emosi yang berujung pada tindak kekerasan di masyarakat lapis bawah dengan atas nama kebenaran.

Contohnya sudah tak terhitung. Kasus yang paling anyar adalah fatwa sesat terhadap Al-Qiyadah Al-Islamiyah. Salah satu indikasi kesesatan aliran ini antara lain, mengubah kredo persaksian (syahadatain), dan mengakui adanya Rasul setelah Rasulullah Muhammad. Kasus ini bukan yang pertama kali. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana kelompok Ahmadiyah di berbagai tempat “dihakimi” massa akibat fatwa yang sewenang-wenang itu. Beberapa contoh lainnya adalah: Islam Jamaah, Ahmadiyah Qadian, DI/TII, Mujahidin’nya Warsidi (Lampung), Syi’ah, Baha’i, “Inkarus Sunnah”, Darul Arqam (Malaysia), Jamaah Imran, gerakan Usroh, aliran-aliran tasawwuf berfaham wahdatul wujud, Tarekat Mufarridiyah, dan gerakan Bantaqiyah (Aceh). Baca entri selengkapnya »

Sebentar lagi, tepatnya 13 Maret 2008, Jawa Barat akan menggelar hajatan akbar berupa Pemilihan Kepala Daerah tingkat provinsi atau yang lazim dikenal dengan Pilkada. Biasanya, momen seperti itu akan selalu dirayakan secara meriah bersamaan dengan selebrasi para kontestan yang tengah pasang jurus untuk merebut simpati masyarakat demi sebuah ‘kemenangan’.

Di balik semua tertib upacara prosedural yang perlu ditempuh, di balik segala hingar bingar kemeriahan kampanye yang sekarang mulai dijalankan, Pilkada kali ini berlangsung di saat Jawa Barat didera berbagai kasus kekerasan atas nama agama yang menyisakan serangkain problem kemanusiaan dan hukum. Baca entri selengkapnya »

Pagi sepenuhnya belum beranjak, kira-kira matahari naik sejengkal dari ufuk timur, Desa Manis Lor yang berada di kaki bukit Ciremai sudah diselimuti situasi mencekam. Jalan Wisaprana –jalan utama desa– yang membujur ke arah timur-barat sepagi itu biasanya riuh dengan lalu-lalang warga yang hendak bepergian ke sawah, kali ini tampak sepi. Hanya terlihat gerombolan-gerombolan kecil warga di teras rumah mereka yang tengah membicarakan sesuatu. Entah apa persisnya yang dibicarakan, yang jelas dari wajah mereka membias kecemasan dan kekhawatiran mendalam. Pagi itu adalah selasa, 18 Desember 2007. Baca entri selengkapnya »